SURABYA, - Fenomena remaja menghadang truk menjadi tren video pada platform TikTok. Bahkan aksi tersebut dikenal dengan challenge malaikat maut kembali menelan korban hingga tewas. Melansir dari berbagai sumber, salah satu teman (korban - red) memberikan kesaksian, bahwa mereka telah membuat video yang sama supaya viral. Merespon permasalahan itu, tim redaksi mewawancarai Guru Besar Sosiologi UNAIR Prof. Bagong Suryanto, M.Si pada Minggu siang (19/6/2022).
Menurutnya, media sosial sekarang menyediakan kesempatan bagi siapapun untuk melakukan mobilitas vertikal. Media sosial, lanjutnya, berubah statusnya dari yang biasa membuatnya populer atau disebut micro celebrity. Karena media sosial, orang biasa yang bukan siapa-siapa menjadi terkenal.
“Nah, itu membentuk mimpi bagi anak-anak. Untuk menerobos popularitas melalui jalan pintas, seperti membuat konten TikTok, foto Instagram, dan vlog yang dirasa membuat mereka terkenal dengan cepat, ” ujar dosen mata kuliah Sosiologi Anak.
Fenomena Aksi Hadang Truk
Menurut Prof Bagong, fenomena hadang truk berkaitan dengan subkultur anak-anak yang sok jagoan. Pada kalangan remaja, mereka ingin menunjukkan identitas sosialnya, termasuk berani melawan bahaya, menentang norma, lalu diekspresikan lewat membuat konten tanpa menyadari risiko keselamatan nyawanya.
Menjawab perihal orang tua yang seolah olah tidak tahu, Dekan FISIP UNAIR juga menyebutkan terdapat kesenjangan budaya antara orang tua dan anak-anak yang disebabkan perbedaan generasi. Sebagian besar orang tua, sambungnya, tidak mengetahui aktivitas anaknya dengan konten, sehingga kurang pengawasan dalam bidang tersebut.
Baca juga:
Gugatan Mahasiswa UKI Ditolak oleh MK
|
Ajak Anak Melakukan Aktivitas Bermanfaat
Untuk mencegah atau mengatasi challenge yang serupa, Prof Bagong menyarankan untuk mengajak anak melakukan aktivitas yang bermanfaat. Menurutnya, ada namanya kampanye bijak bermedia sosial. Anak-anak yang sudah terlanjur itu, perlu pengawasan dari sekitarnya, khususnya orang tua.
“Untuk ikut mengawasi dan mencegah supaya para remaja tidak melakukan tindakan yang keliru dalam bermedia sosial. Hal itu memang membutuhkan orang terdekat, yang lebih memiliki kesadaran literasi, agar tidak terjadi, ” jelasnya.
Pada akhir, Prof Bagong menegaskan, anak-anak tidak bisa sekadar dilarang, melainkan mengarahkan ke kegiatan lain, melalui menerapkan pendekatan yang memahami subkultur. Misalnya, aktivitas yang memfasilitasi mentalitas sok jagoannya, sekaligus bisa menjaga keselamatannya.
“Selain itu, perlu bersama mencari jalan keluar yang dibarengi pengawasan demi memastikan keselamatan anak-anak, ” pungkasnya. (*)