Berkendara Pakai Sandal Dilarang, Begini Kata Sosiolog UNAIR

    Berkendara Pakai Sandal Dilarang, Begini Kata Sosiolog UNAIR
    Dekan FISIP Prof Bagong Suyanto

    SURABAYA – Baru-baru ini Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia (Kakorlantas Polri), Irjen Pol Firman Shantyabudi menghimbau untuk tidak memakai sandal ketika berkendara sepeda motor. Himbauan tersebut bertujuan meminimalisasi kecelakaan fatal di jalan. Karena motor memiliki resiko fatalitas lebih tinggi dibanding kendaraan lain.

    Hal itu memicu beragam reaksi dari masyarakat. Tidak sedikit dari mereka yang mengutarakan ketidaksetujuannya dengan himbauan tersebut melalui beragam ekspresi seperti lelucon berbentuk ironi misalnya. Menanggapi hal itu Pakar Sosiologi Universitas Airlangga (UNAIR), Prof Dr Bagong Suyanto Drs MSi turut memberikan pandangannya.

    “Ketidaksetujuan atau penolakan (resistensi, Red) di masyarakat itu wajar. Karena mengingat masyarakat kita ini butuh adanya konsistensi dari para penegak hukum. Kalau memang dihimbau untuk tidak memakai sandal ketika berkendara sepeda motor ya himbauannya harus merata dan jangan sampai “tebang pilih, ” tutur Prof Bagong.

    Selama ini menurut Prof Bagong, para penegak hukum di Indonesia kurang konsisten dalam memberi himbauan atau peraturan. Terkadang masih banyak pelonggaran atau pengecualian bagi masyarakat tertentu. Ketidaktegasan para penegak hukum memicu masyarakat menyepelekan himbauan atau peraturan tersebut.

    “Lain halnya kalau kita berbicara tentang Singapura. Di sana aturan atau hukum sudah sangat tegas dan tidak bisa “dibelokkan.” Sehingga sekalipun masyarakat yang tidak pernah menaati aturan kemudian pergi ke Singapura, maka dia akan menjadi taat karena sanksinya juga nyata, ” terang Prof Bagong.

    Melalui pandangannya tersebut, maka Prof Bagong mengatakan bahwa kita tidak bisa serta-merta menganggap masyarakat Indonesia tidak bisa diatur. Ketika cara penerapan dan sosialisasinya benar, maka masyarakat juga akan menerima dengan baik. Terlebih dalam hal ini, himbauan tersebut bertujuan baik bagi masyarakat.

    “Kuncinya ada di konsistensi para penegak hukum. Kalau itu sudah dilakukan ya masyarakat dapat patuh, ” imbuh Prof Bagong.

    Lebih Menganjurkan Pemberian Insentif

    Kendati masih ada kesempatan untuk dipatuhi masyarakat, namun Prof Bagong lebih menganjurkan pemberian insentif (hadiah, Red) daripada adanya himbauan. Hal itu menurut Prof Bagong, akan meningkatkan perhatian masyarakat.

    “Jadi para penegak hukum tidak perlu membuat himbauan sebagai aturan tegas untuk ditaati. Cukup mereka dapat memberi insentif bagi masyarakat yang mematuhi himbauan atau bahkan ketika ada aturan yang berlaku. Mereka (masyarakat, Red) akan lebih senang dengan itu daripada hanya himbauan atau aturan yang berujung sanksi pelanggaran, ” jelas Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNAIR tersebut.

    Penulis: Fauzia Gadis Widyanti

    Editor: Feri Fenoria

    SURABAYA
    Achmad Sarjono

    Achmad Sarjono

    Artikel Sebelumnya

    Universitas Brawijaya terima 5000 lebih...

    Artikel Berikutnya

    Sempat Kabur, DPO Asal Kejati Aceh Ditangkap...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Permendikbudristek 44/2024: Dorong Profesionalisme dan Kesejahteraan Dosen
    Konsekuensi Hukum bagi Jurnalis yang Lakukan Framing, Fitnah, dan Informasi Menyesatkan dalam Publikasi Opini
    Akibat Hukum Jurnalis Berpihak: Ketika Etika dan Hukum Dilanggar demi Kepentingan
    Rekognisi Profesor Melalui Kolaborasi Internasional Universitas Mercu Buana - Universiti Tun Hussein Onn Malaysia
    Lembaga Advokasi Konsumen DKI Jakarta Somasi Apartemen Green Cleosa Ciledug

    Ikuti Kami