SURABAYA – Dalam lima tahun terakhir, kontestasi elektoral di wilayah Amerika Latin melahirkan pemerintahan sayap kiri (left-wing). Tren ideologi mereka dapat didefinisikan sebagai sosialisme abad ke-21, yang merupakan antitesis dari aliran neoliberalisme dalam pemerintahan sayap kanan (right-wing). Beberapa contohnya adalah terpilihnya Gabriel Boric di Chile dan Gustavo Petro di Kolombia pada tahun 2022, serta Pedro Castillo di Peru.
Banyak yang mengatakan bahwa Amerika Latin kini sedang memasuki kembali fenomena pink tide (gelombang merah jambu), yang sebelumnya pernah terjadi di Amerika Latin pada awal dekade 2000-an. Pakar Politik Amerika Latin UNAIR Dr Phil Siti Rokhmawati Susanto mengatakan bahwa pink tide kedua untuk saat ini lebih terbagi dan tidak menyeluruh seperti yang pertama.
“Jadi 50:50, ada wilayah yang kuat sekali pemerintahan sayap kirinya seperti di Bolivia dan Chile. Tetapi ada yang juga relatif tidak kuat, seperti di Brazil dan Kolombia, ” ujar dosen yang akrab disapa Irma itu.
Irma menuturkan bahwa resurgensi pink tide ini dikarenakan ketidakpuasan masyarakat pada tata kelola pemerintahan di wilayah tersebut pada era 2010-an. Pada era tersebut, pemerintahan wilayah Amerika Latin cenderung sentris dan mengarah pada sayap kanan. Ia menambahkan bahwa dinamika ini serupa terjadi seperti pink tide pertama yang muncul karena kala itu, neoliberalisme sangat mendominasi dalam rezim-rezim di wilayah tersebut.
“Ketidakpuasan itu biasanya muncul ketika suatu rezim bertahan terlalu lama, sehingga ia menjadi lame duck. Mungkin mereka waktu terpilih memiliki janji politik yang ambisius, tapi lama kelamaan menjadi payah dan tak inovatif. Misal di Brazil yang mereka dipimpin oleh tiga presiden sayap kiri sejak 1995, dari Cardoso, Lula, hingga Dilma Rousseff. Ketika Rousseff dimakzulkan karena korupsi, jadi naik Bolsonaro yang sangat kanan pemerintahannya. Dinamika dari left-wing ke right-wing, lalu ke left-wing lagi itu mungkin, ” papar Ketua Departemen Hubungan Internasional UNAIR itu pada Kamis (28/7/2022).
Irma juga menuturkan bahwa naiknya pemerintahan sayap kiri ini tak bisa dipisahkan dengan efek pandemi COVID-19 dan resesi global yang menyebabkan naiknya inflasi. Saat ini, presiden-presiden tersebut berupaya mencari pola-pola baru dalam menstabilkan kembali perekonomian negara masing-masing. Ambil contoh adalah Luis Arce, presiden sayap kiri yang barusan naik tahta di Bolivia. Sebelumnya, ia merupakan Menteri Perekonomian dan Keuangan saat presidensi Evo Morales, seorang presiden sayap kiri yang berhasil membawa Bolivia pada era transformasi ekonomi di periode 2000-an.
“Sebelumnya, Bolivia sempat setahun dipimpin oleh Jeanine Áñez, yang merupakan pemimpin sayap kanan. Jadi, terlihat bahwa orientasi dinamika pink tide kali ini lebih berfokus pada strategi-strategi penstabilan ekonomi, ” ujar alumni University of Münster itu.
Salah satu penanda utama dari fenomena pink tide jilid satu adalah integrasi regional yang berpayung pada semangat Bolivarianisme, ideologi anti-imperialisme di wilayah tersebut. Namun, Irma skeptis bahwa negara-negara yang bergeser ke kiri itu akan membentuk suatu aliansi dalam waktu dekat.
“Fokus dari mereka kini tentu adalah ke negara masing-masing, seperti upaya penekanan inflasi. Dapat dilihat sendiri bagaimana dampak sosio-ekonomi di Amerika Latin ketika COVID-19 menyerang, contoh di Ekuador yang sampai tak ada pemakaman. Revitalisasi kekuatan kolektif itu butuh waktu, kita lihat saja 4-5 tahun kedepan, ” pungkas Irma.
Penulis: Pradnya Wicaksana
Editor: Nuri Hermawan