Pakar Hukum Agraria UNAIR: Penambangan Batu Andesit di Wadas Bukan untuk Kepentingan Umum

    Pakar Hukum Agraria UNAIR: Penambangan Batu Andesit di Wadas Bukan untuk Kepentingan Umum
    Potret Pakar Hukum Agraria UNAIR Dr. Agus Sekarmadji saat memaparkan materi webinar yang digelar oleh FH UNAIR terkait polemik Desa Wadas. (Foto: SS Zoom)

    SURABAYA – Pakar Hukum Agraria UNAIR Dr. Agus Sekarmadji diundang menjadi narasumber dalam webinar yang digelar oleh Bagian Hukum Administrasi FH UNAIR pada Rabu (2/3/2022) siang.

    Topik yang didedah pada diskusi akademik itu adalah “Pengadaan Tanah untuk Usaha Pertambangan dalam Rangka Pembangunan Strategis Nasional: Tinjauan terhadap Peristiwa Wadas.”

    Pada kesempatan tersebut, Agus mengupas aspek normatif dari pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Ia menekankan bahwa apabila konteksnya untuk kepentingan umum, pemerintah dapat sedikit memaksa pada masyarakat untuk memberikan tanahnya.

    Pengaturannya dapat ditemukan dalam UU 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang juga diperkuat dalam UU Cipta Kerja.

    “Hal ini terletak pada apabila masyarakat yang tidak setuju pada ganti rugi atau penyerahan tanahnya dapat menempuh jalur hukum, yakni menggugat ke Pengadilan. Namun apabila sudah sampai pada tahap banding dan sudah inkracht, pemerintah dapat menitipkan ganti ruginya ke Pengadilan, ” tutur Agus.

    Berdasarkan itu, Agus menekankan bahwa pembangunan Bendungan Bener merupakan pembangunan untuk kepentingan umum karena telah ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Namun, lanjutnya, penambangan batu andesit di desa Wadas bukanlah untuk kepentingan umum.

    “Tanah dalam hukum agraria (Pasal 4 ayat (1) UUPA) itu merupakan permukaan bumi. Apabila pemerintah telah memperoleh hak atas tanah, mereka tidak diperbolehkan untuk menambang apa yang di dalamnya, ” ujar Rektor FH UNAIR itu.

    Akibat tidak masuknya penambangan batu sebagai kepentingan umum, sambungnya, ia harus tunduk pada sistem hukum pengadaan tanah bukan untuk kepentingan umum. Hal itu, lanjut Agus, berarti bahwa ganti kerugian harus didasarkan pada kesepakatan, dan pemilik tanah boleh menolak.

    “Ditambah pula, kita dihadapkan pada premis bahwa pengadaan tanah pembangunan bendungan dan penambangan batu dijadikan satu paket. Itu tu menyalahi prinsip pengadaan tanah itu sendiri, ” tekannya.

    Saran yang Agus haturkan adalah kegiatan pengadaan tanah untuk pembangunan bendungan dan penambangan batu itu hendaknya dipisah. Pada prinsipnya, Agus menekankan pada penyalahan prinsip hukum itu menyulitkan proses pembangunan yang sejatinya untuk kepentingan umum.

    “Pencarian batu itu bisa dicarikan di tempat lain tanpa harus melakukan pengadaan tanah. Apabila dipaksakan seperti ini jadinya ribet, ” tutupnya.

    Penulis: Pradnya Wicaksana.

    Editor: Nuri Hermawan.

    SURABAYA
    Achmad Sarjono

    Achmad Sarjono

    Artikel Sebelumnya

    Partisipasi Masyarakat Jadi Hal Utama dalam...

    Artikel Berikutnya

    KAI Daop VII Madiun Bersama Komunitas Rail...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Permendikbudristek 44/2024: Dorong Profesionalisme dan Kesejahteraan Dosen
    Konsekuensi Hukum bagi Jurnalis yang Lakukan Framing, Fitnah, dan Informasi Menyesatkan dalam Publikasi Opini
    Akibat Hukum Jurnalis Berpihak: Ketika Etika dan Hukum Dilanggar demi Kepentingan
    Rekognisi Profesor Melalui Kolaborasi Internasional Universitas Mercu Buana - Universiti Tun Hussein Onn Malaysia
    Lembaga Advokasi Konsumen DKI Jakarta Somasi Apartemen Green Cleosa Ciledug

    Ikuti Kami