Kata Dosen FPsi UNAIR tentang Pulihkan Trauma Hingga Cegah Penculikan

    Kata Dosen FPsi UNAIR tentang Pulihkan Trauma Hingga Cegah Penculikan

    SURABAYA – Penculikan anak masih menjadi masalah yang cukup sering terjadi di Indonesia. Berada pada lingkungan asing, perasaan terancam dan terisolasi akan muncul pada anak korban penculikan.

    Dosen Fakultas Psikologi (FPsi) Universitas Airlangga (UNAIR) Dr Primatia Yogi Wulandari SPsi MSi Psikolog menyampaikan bahwa seorang anak membutuhkan lingkungan yang aman dan nyaman. Sementara itu, korban penculikan akan berada jauh dari lingkungan sekitarnya, bahkan mengalami tindakan fisik dan pelecehan seksual. Hal tersebut membuat psikologis korban terdampak. 

    “Anak yang mengalami trauma akan tampak berbeda dari segi perilaku yang ditampakkan, seperti lebih banyak diam dan termenung, menyendiri, mimpi buruk, hingga menangis histeris, ” tuturnya, Rabu (1/6/2022).

    Besarnya Peran Orangtua dalam Pemulihan

    Mima, sapaan akrab dosen FPsi UNAIR tersebut menyebutkan bahwa pemulihan trauma korban penculikan membutuhkan proses dan waktu sesuai dengan tingkat keparahan trauma. Ia menuturkan bahwa orangtua dan lingkungan sekitar berperan besar dalam memberikan rasa aman pada korban. 

    “Jadi pendengar yang baik bagi anak. Dengarkan cerita anak tanpa ada judgement apapun. Jangan memaksa anak untuk bercerita secara rinci tentang kejadian penculikan itu. Biarkan anak mengungkapkannya ketika ia ingin cerita, ” jelas Mima.

    Selain itu, membangun rasa aman dalam kegiatan sehari-hari dan memberi keyakinan bahwa situasi telah baik juga perlu ditanamkan bersama dengan orang-orang sekitar. Dosen FPsi itu menambahkan, mencurahkan kasih sayang yang ekspresif juga dapat membuat anak merasa disayangi. 

    “Bila anak mengalami stress berat atau trauma, lebih baik dirujuk ke professional untuk dilakukan konseling. Lakukan juga pemeriksaan fisik bila anak menunjukkan ketidaknyaman secara fisik, ” tegasnya. 

    Cegah Penculikan

    Mencegah penculikan anak tentunya akan lebih mudah daripada memulihkan psikologis anak yang telah terdampak. Mima menuturkan bahwa pengawasan optimal wajib dilakukan ketika anak berada di tempat umum.

    “Hindari mengunggah informasi pribadi anak secara detail di media sosial, seperti nama, alamat rumah, sekolah, nomor telepon, ” imbuhnya.

    Ia juga menyarankan agar orangtua selektif dalam memilih pengasuh atau tempat penitipan anak. 

    Orangtua perlu mempertimbangkan informasi dan catatan terkait latar belakang dari orang bersangkutan tersebut. 

    Mima juga berpesan agar para orang tua dapat mengajari anak bersikap ketika menghadapi orang asing. Ia menambahkan, perlu juga mengajari anak melakukan perlawanan dan mempertahankan keselamatan.

    “Misalnya, tidak menerima pemberian, memberikan kode tertentu yang hanya diketahui anak dan orangtua, sehingga kalau ada orang asing mendekati anak atas nama orangtua, anak harus meminta kode tersebut, ” jelasnya. (*)

    Achmad Sarjono

    Achmad Sarjono

    Artikel Sebelumnya

    Fakultas Kedokteran UNAIR Raih Empat Rekor...

    Artikel Berikutnya

    Wakapolda Jatim Pimpin Pakta Integritas...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Permendikbudristek 44/2024: Dorong Profesionalisme dan Kesejahteraan Dosen
    Konsekuensi Hukum bagi Jurnalis yang Lakukan Framing, Fitnah, dan Informasi Menyesatkan dalam Publikasi Opini
    Akibat Hukum Jurnalis Berpihak: Ketika Etika dan Hukum Dilanggar demi Kepentingan
    Rekognisi Profesor Melalui Kolaborasi Internasional Universitas Mercu Buana - Universiti Tun Hussein Onn Malaysia
    Lembaga Advokasi Konsumen DKI Jakarta Somasi Apartemen Green Cleosa Ciledug

    Ikuti Kami