SURABAYA – Semakin rumitnya konflik yang terjadi Ukraina dan Rusia, semakin banyak pula negara yang mengutuk dan menjatuhkan sanksi terhadap Rusia layaknya krisis Krimea 2014. Pakar Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga, Citra Hennida SIP MA (IR) menjelaskan ada perbedaan dalam aktor politik yang menjatuhkan sanksi terhadap Rusia, menyusul invasi yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina.
“Ada aktor negara-negara baru yang ikut impose the sanction, ” jelasnya pada acara CSGS Lecture Series pada, Jumat (11/3/2022).
Baca juga:
Polda Jatim Laksanakan Rakernis Bidang Hukum
|
Menurutnya, negara yang tidak terlibat dalam krisis Krimea 2014, seperti Korea, Maroko, dan Singapura yang turut memberi sanksi Rusia dalam konflik Rusia-Ukraina dilatarbelakangi oleh ketidakmampuan PBB untuk mengenakan sanksi terhadap Rusia. Dikarenakan mekanisme veto yang ada di dalam arsitektur PBB itu sendiri.
Selain itu, terdapat keterlibatan korporasi-korporasi multinasional, sambungnya, yang menarik produk-produk mereka dari Rusia. Korporasi-korporasi tersebut di antaranya adalah Apple, NIKE, Ford, IKEA, Starbucks, dan Mcdonalds.
“Tenaga kerjanya akhirnya di-lay-off.” ungkapnya.
ia menjelaskan bahwa kebanyakan korporasi yang hengkang dari Rusia adalah produk-produk tersier. Hal itu disebabkan oleh sistem pemerintahan Rusia itu sendiri yang “disetir” oleh oligarki.
“Kalau oligarkinya kena, harapannya itu akan mempengaruhi keputusan dari Putin, ” tutur Citra.
Kebijakan itu dikenal sebagai smart sanction, yaitu sanksi yang selektif dan bertarget khusus. Jadi, kebanyakan sanksi yang dijatuhkan (seperti pembekuan aset) memang menargetkan oligarki, dan bukan negara Rusia itu sendiri.
“Dia tidak narget negara, tapi aktor mana sih yang berkontribusi terhadap pengambilan keputusan, ” sebutnya.
Citra mengatakan terdapat hambatan bagi negara-negara yang ingin menjatuhkan sanksi dengan efektif ke Rusia. Yaitu, ketiadaan sanksi multilateral dan dependensi negara penyanksi terhadap Rusia.
Pertama, sanksi-sanksi terhadap Rusia merupakan sanksi-sanksi unilateral yang dijatuhkan oleh satu negara, bukan sanksi multilateral yang dijatuhkan secara kolektif oleh banyak negara sekaligus. Dalam hal ini, PBB merupakan salah satu organisasi multinasional yang mampu mengenakan sanksi kepada negara anggotanya, termasuk Rusia.
Namun, keputusan penjatuhan sanksi dari PBB berada di tangan Dewan Keamanan. Jika salah satu negara dari Dewan Keamanan menggunakan hak veto mereka, maka sanksi tersebut tidak bisa dijatuhkan.
“Masalahnya Rusia kan ada di V5 (Dewan Keamanan yang memiliki hak veto). Jadi kalau lewat PBB itu pasti nggak lolos lah, ” ujarnya.
Kedua, negara-negara yang ingin mengenakan sanksi pada Rusia juga harus berpikir dua kali apabila mereka masih bergantung pada impor minyak dan gas Rusia. Hal itu mengingat Rusia merupakan salah satu pemasok minyak dan gas terbesar di dunia. Maka, jika negara yang masih dependen terhadap Rusia ikut menjatuhkan sanksi, maka negara tersebut akan merugikan dirinya sendiri.
Penulis: Ghulam Phasa P
Editor : Khefti Al Mawalia